Sudah Merdekakah Engkau?
Sudah Merdekakah Engkau?
Juara 2 lomba mengarang cerpen
Oleh: Nabila May Sweetha.
"Jangan pergi, tidak boleh!" matamu menyala akibat marah.
Saya membuang pandang, tak ingin menatap kamu terlalu lama. Kau terus melarang, sementara teman-teman di tanah Jawa mendesak, menyuruh saya cepat-cepat kembali ke sana. Kerusuhan di kalangan mahasiswa sudah mirip seperti bisul yang meradang, merah dan tinggal menunggu menit untuk meletus. Bagaimanalah saya bisa duduk di sini, santai menyantap songkolo (Makan khas Makassar yang terbuat dari beras ketan yang ditanak dengan santan, lalu disajikan bersama telur asin dan ikan kering) buatanmu sementara mereka mati-matian memberontak?
"Saya harus pergi, Tanning," saya meraih jemarimu.
Lagi, kau menggeleng tegas. Kamu memang begitu, Tanning, selalu saja kukuh dengan pendirian. Sekali kau bilang tidak, maka tidak akan kau mengangguk. Tak bisakah kamu mengerti, Tanning? Memilih antara kau atau pemberontakan adalah hal yang sulit. Ini demi kita, demi teman-teman saya. Lebih luasnya lagi, ini demi seluruh rakyat Indonesia. Tidak bisa kita terus-terusan diam di bawah pemerintahan yang ugal-ugalan macam ini.
"Tanning, tolong mengerti dulu.”"
Tidak, Iki! Kalau saya biarkan kau pergi, saya sama seperti biarkan kau bunuh diri," matamu berembun, bersiap untuk meluncurkan hujan.
Saya menunduk, gondok setengah mati. Sudah puluhan, atau mungkin ratusan surat teman-teman mahasiswa seuniversitas yang sampai ke rumah. Isinya apa lagi jika bukan menyuruh saya lekas menumpang kapal laut, membawa barang seadanya, dan membantu pergerakan pemberontakan di sana. Tapi, Tanning, kau masih juga mencegah?
"Saya ini mahasiswa, Tanning! Orang berpendidikan, aktifis kampus. Bagaimanakah bisa diam saja di sini, duduk santai, saat teman-temanku asyik demo? Betapa pengecutnya saya kalau cuma diam di sini, saat teman-temanku memperjuangkan kemerdekaan kita!" saya setengah membentak.
Kau diam, air mata yang sedari tadi tergantung di pelupuk itu terjatuh, membuat saya harus menarik napas karena kesal. Saya tidak suka kamu menangis, Tanning, harus berapa kalikah saya berkata demikian?
***
Pertemuan malam itu berakhir dengan kau yang menangis, saya yang tidak bicara sepatah katapun, dan songkolo bertabur ikan asin yang kita biarkan masuk angin. Semuanya tidak masuk akal bagi saya, apalagi saat kau melarang saya kembali ke Jawa.
Tahun 1998, tepat di mana mahasiswa seluruh nusantara sedang giat-giatnya berdemo menuntut satu hal.
"Soeharto harus turun dari jabatannya sebagai presiden!"
Saya sebagai anak Makassar yang merantau dan kuliah di Jawa terlibat di banyak kegiatan yang cukup penting. Gabung di Himpunan Mahasiswa, mengumpulkan adik-adik angkatan, mengatur tak-tik demo, dan sebagainya.
Kala itu memang pemerintahan sudah kacau. Aktifis banyak yang hilang, hak berpendapat dibatasi, orde baru berjalan tidak semestinya. Bahkan ada beberapa orang kawan saya yang juga rutin menjadi penggerak pemberontakan hilang tanpa jejak. Dugaan saya adalah mereka mungkin dikenai hukum gelap, hukum yang berjalan di bawah tangan, tersembunyi dan kejam..
Apa yang harus dilakukan untuk menghentikan semuanya? Mengembalikan aktifis yang hilang, menghancurkan hukum tersembunyi, Meujudkan negara adil dan beradap yang dulu menjadi cita-cita pahlawan kemerdekaan. Jawabannya hanya satu, yaitu melenserkan Soeharto.
***
Jakarta berdebu saat beberapa hari kemudian saya sampai di sana. Tanning, suatu waktu nanti, saat negeri sudah damai saya akan menuntun kamu ke kota ini. Membawa kamu ke tempat-tempat yang biasa menjadi kebanggaan, melihat senyum kau yang aduhai manisnya. Saya janji, Tanning. Saat itu kamu akan tahu bahwa ada pemandangan yang lebih indah dari Pantai Losari, ada mall yang lebih besar dari Gelael. Ada, Tanning, walau memang sejauh apapun kita pergi saya tahu Makassar tetap lebih indah beribu-ribu kali lipat untuk kita berdua.
Kota Daeng, tempat kita lahir itu, adalah ruang di mana kita merasa dipeluk oleh keakraban yang nyaman sekali. Adalah tempat di mana kita bertemu, tak sengaja bertabrakan di monumen Mandala, la jatuh cinta pada pandangan pertama..
Seminggu setelah saya sampai di Jakarta suratmu tiba di kost-an. Saya membaca, di kertasnya air matamu membentuk jejak dalam surat dengan kertas yang agak lusuh itu kau guratkan betapa kesalnya, kecewanya, dan tidak percayanya kau dengan kepergian saya. Kepergian yang tanpa izinmu.
"Saya minta maaf, Tanning, minta maaf karena lagi-lagi membuatmu menangis."
Begitulah sepertinya kata-kata yang ingin saya tulis, andai pun saya mengirim surat balasan. Namun saya tidak sempat, Tanning, pekerjaan menunggu. Rencananya besok subuh kami, saya bersama teman-teman aktifis lain akan berangkat ke Surabaya, melakukan sesuatu di sana. Hari-hari kami di sini berjalan tegang, semangat, dan bimbang. Kami takut, tapi mau diapa lagi? Siapa yang akan melakukan perjuangan-perjuangan ini jika bukan kami?
Maka, dengan keberanian yang hampir padam karena semakin banyak aktifis yang hilang, kami melakukan semua pemberontakan itu. Demo, menghasut masyarakat, meminta teman-teman kami dikembalikan.
Sementara kau, gadis manis yang tinggal di bawah naungan langit Makassar yang hangat saya harap akan tetap baik-baik saja. Kau perlu tahu hal ini, Tanning, perlu sekali. Bahwa semangat saya lahir dari nasib bangsa kita. Lebih dalamnya lagi, saya mengharap kehidupan yang adil dan beradap bagi anak-anak kita kelak. Apa jadinya generasi penerus di bawah kediktatoran ini? Tidak ada kebebasan, Tanning, tidak ada. Hak bersuara, berpendapat, juga hak lain-lainnya yang seharusnya kita miliki direnggut paksa. Kita bukan orang yang merdeka, bukan orang yang bebas ....
***
Apa kabar, Tanning?
Subuh itu, dalam perjalanan menuju Surabaya, mobil yang kami tumpangi diberhentikan paksa. Kammi tidak ingin turun ketika melihat aparat yang berjaga. Apalagi saya, wajah ini sudah dihafal mati oleh mereka. Bisa-bisa kami menjadi orang hilang berikutnya. Tapi malang memang tak dapat ditolak, Tanning. Kaca mobil mereka lempari batu, mereka pukuli besi sampai akhirnya pecah berkeping. Pecahannya mengenahi kami, sakit tapi itu bukan masalah. Yang masalah kemudian adalah saat mereka menarik kami satu-persatu, la menaikkan kami ke mobil yang lain. Itu terakhir kali saya melihat langit, Tanning.
Mata kami ditutup, kami dipisahkan, dipukuli, kemudian saya rasa tubuh ini dilempar masuk ke dalam ruangan sempit tanpa toilet.
Lalu di sinilah saya sekarang, Tanning. Apa kau sudah merdeka?
Saya rindu dengan songkolo yang sering kau buatkan, dengan taburan ikan asinkah itu? Atau saya salah ingat? Maafkan kalau salah, Tanning. Saking seringnya saya dipukul, saya menjadi sedikit gila sekarang. Atau tidak? Entahlah, saya bingung. Hari-hari berjalan begitu sama bagi kami.
Kami? Apa mereka, teman-teman saya masih ada? Ataukah sudah mati karena tak tahan disiksa? Entahlah, Tanning. Saya tidak pernah bertemu mereka lagi.
Berbulan-bulan sudah berlalu, entah sekarang saya masih hidup atau hanya bergentayangan di laut ini. Terakhir kali saya ingat bertemu manusia saat selusin orang tegap bersenjata menyeret saya keluar dari ruangan tanpa toilet itu, memukuli saya, lalu memasukkan saya ke dalam karung. Saya dibuang ke laut, lalu saya hidup sambil merindukan kamu di sini.
Bagaimana, Tanning, apa kau sudah merdeka?
Selamat hari ini gan.
BalasHapusKumbal ea.
Ada post anyar tuh.
Https://langgammutiara.com
Hai gan!
BalasHapusane hadir lagi neh.
ternyata untuk mencapai kemerdekaan itu harus di bayar dengan cinta juga ya?
hhhhhh.
salam untuk semua.
kumbal ya.
ada post baru lagi tuh.
salam langgammutiara.com