YOUR LOVE, MY FREEDOM
YOUR LOVE, MY FREEDOM
Juara 1 Lomba mengarang cerpen
Alicia Angelica
Ada masa-masa dimana aku dapat mengatakan kepada siapa saja, dengan segala keyakinan yang kumiliki, bahwa setiap orang boleh saja memiliki belahan jiwa, cinta sejati, pendamping hidup, pangeran impian, atau simpelnya sih, pacar. Tapi tidak semua bisa mengatakan bahwa mereka lantas bahagia dengan pilihan mereka itu. Sebabnya, setelah masa pendekatan penuh rayuan, bunga-bunga, dan janji-janji sehidup semati yang diucapkan dalam keadaan mabuk kepayang, muncullah segala konflik yang dapat dibayangkan umat manusia dalam hubungan mereka.
Sebut saja dari mulai kebiasaan-kebiasaan yang mengganggu bagi sang pacar diantaranya makan terlalu banyak hingga berat badan melebihi rata-rata karena kurasa juga mengembat porsi pasangan ketika dating, penampilan terlalu menyakitkan mata atau malah terlalu biasa, , dan segala ketidakpuasan yang sempat terpikirkan terkait kondisi si dia yang ternyata di luar ekspektasi. Berikutnya ada juga kebiasan yang perlu menjadi perhatian, yaitu kebiasaan mencari selingan berupa orang ketiga. Dimana semakin membanggakan dan idealnya pacar mereka, maka alarm kemungkinan ketidaksetiaan akan semakin nyaring dan sering berbunyi. Merambah ke prinsip hidup, siap-siap dipusingkan oleh cita-cita hidup pasangan, kepercayaan pasangan, ekspektasi pasangan, hingga sampai pada bagaimana berinteraksi dengan keluarga pasangan. Singkat kata menurutku, “Habislah sudah!”
Usiaku di akhir masa remaja saat itu, antara masa peralihan kecemasan dan semangat yang menggebu-gebu untuk segala kemungkinan di masa depan. Kendati demikian, aku tidak pernah labil untuk masalah cinta, sebabnya satu-satunya yang kuyakini hanya dia “Cintaku”. Kami berbeda, benar, tapi juga begitu sama dalam meyakini satu hal, kami diciptakan untuk bersama.
Apakah kami telah dijodohkan hingga begitu meyakini takdir? Sebaliknya, kami dilahirkan dalam keluarga dengan latar belakang keyakinan yang berbeda. Keluarganya adalah keluarga mayoritas yang taat dan religius, sementara keluargaku terkenal dengan segala kelonggarannya baik dalam meyakini kepercayaan maupun memilih pasangan. Memikirkan ketidakcocokan di masa depan? Tidak, segalanya berarti, kemarin, hari ini, maupun setiap momen yang akan terjadi esok. Aku memilih dia, dan dia memilihku, hanya itu yang penting. Sejujurnya, kami bahkan tidak pernah memikirkan masa depan.
Awal kami bertemu adalah pada acara outbond yang diadakan sekolah, dimana kelasku dan kelasnya disatukan dalam satu rombongan. Selaku seorang gadis yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok bergosipnya saja, aku tidak menaruh perhatian pada kelompok lain, sampai aku terjebak taruhan.
“Kalau lo berani lewatin jembatan tali, kita patungan beliin lo Kenzo De Lumiere.” Kata Lynn, singkatan dari Marilynn. Kelima temanku yang lain tertawa cekikikan, tampaknya telah merencanakan kejahatan ini sejak awal masa.
“Ah, nggak fair, kalian tahu gue takut ketinggian,” bantahku, kesal.
“Justru itu, cinta butuh pengorbanan, dalam kasus lo, cinta pada Kenzo De Lumiere butuh pengorbanan menaklukan ketakutan terbesar lo terhadap ketinggian,” balas Eve, singkatan dari Evangeline.
Aku merengut kesal, mereka tahu aku tidak mungkin menolak, karena sudah begitu lama menginginkan produk satu itu. Seorang diri, jelas di luar kemampuan anak SMA dengan uang saku terjatah. Patungan berenam, jelas bisa. Apalah artinya ketinggian, Kenzo De Lumiere butuh pengorbanan. Lho, kenapa jadi ikutan si Eve?
“Hey, jadi, berani bertindak, atau berani berharap?” Tanya El, singkatan dari Eleanor, sang provokator.
“Ok, ok,” teriakku tanpa pikir panjang, hilang akal sehat karena mendamba. Kenzo De Lumiere, aku datang!
Teman-temanku tertawa geli sambil bertepuk tangan, bersemangat menunggu nasib malangku menjelang. Sampai saat rombongan kami tiba di wahana jembatan tali, terentang tiga meter di atas danau buatan. Awalnya aku tidak merasa cemas sama sekali, karena selain teman-teman kelompokku, para siswa dari sekolah kami juga ikut meniti jembatan tali tersebut. Aku tidak memperhatikan sekeliling, terlalu sibuk meyakinkan diri sendiri untuk melalui cobaan dengan selamat. Sampai tiba giliranku, aku melangkahkan kaki ke atas tali, gemetaran, berpegangan erat-erat, bibir berkomat-kamit. Aku ingat menggeser kaki dan tangan perlahan di tali, ngeri setengah mati. Detik berikutnya aku melakukan kesalahan fatal, memandang ke arah bawah.
“Aaaaaaaaaargh!” Jeritku melengking, lupa daratan, lupa harga diri, lupa Kenzo De Lumiere menanti. Seketika tawa membahana dimana-mana, terutama dari kelompok teman-temanku. “Turunin gue dari siniiiiiiiiii!” Jeritku lagi. Seketika angin terasa lebih kencang, mendorong tubuhku kea rah kiri, kakiku tergelincir dari tali. Namun bukannya reda, suara tawa semakin menggelegar.
Aku sudah hampir menangis histeris ketika seseorang menangkap pinggangku, menyeimbangkan tubuhku dengan mantap.
“Tenang,” kata sang malaikat penyelamat. Suaranya pelan dan terkesan kalem, kontras dengan lengkinganku yang histeris. “Aku jaga kamu.”
“Gue nggak bisa berenang!” lengkingku dalam bisikan.
“Ah, kalau Cuma itu aku bisa.” katanya sambil terkekeh.
Aku menoleh padanya, kesal. Apa maksudnya “Kalau cuma itu dia bisa?” Mau menghina kemalangan dan kepayahanku lebih parah lagi?
Pikiranku segera teralihkan ketika melihatnya dalam jarak dekat. Posturnya ramping, pasti sepuluh sentimeter diatasku. Pakaiannya termasuk longgar, tapi tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang menandakan banyak diproses melalui berbagai aktivitas fisik. Kulitnya memang lebih gelap, tapi tidak bernoda. Wajahnya tirus, menampakkan raut yang menurutku tegas dan manis sekaligus, dilengkapi rambut gelap yang dibiarkan menggelombang hampir mencapai pertengahan lehernya.
Ketika dia menangkap tatapanku, ujung bibirnya sedikit tertarik. “Maksudku baik lho.” Katanya, lalu dia sedikit mencibir.
Cukup sudah! Aku melepaskan diri dari pegangannya, segera menggeser sebelah kakiku di tali. Dan….dan….Detik berikutnya…. Astaga, kenapa airnya mendekat?
Brusssshhh!
Saking shocknya, aku hanya ingat menelan air, aroma lumpur dan sensasi dingin, mata dan hidungku perih, setengah mati menggapai permukaan. Ada teriakan-teriakan panik, yang juga membuat aku bertambah panik, sampai bunyi ceburan lain dan seseorang melingkarkan lengannya padaku, membawaku menepi.
Berikutnya aku terlentang di rerumputan, teman-teman mengerumuniku, tapi hanya satu wajah tirus-manis yang berada dalam fokusku. “Perlu nafas buatan?” tanyanya, sudut bibirnya lagi-lagi hanya sedikit tertarik ke atas. Orang ini kenapa sih? Apa salahnya senyum sedikit? Pikiranku yang melantur bersuara sendirian.
“Beneran? Kamu kecelup sedikit udah pingsan?” Suara kalemnya memancing tanganku melayang ke atas.
“Enggak!” pekikku dengan suara bindeng. “Gue nggak apa-apa, yang punya hati tolong bantu bangun!” Aku berusaha menyindirnya, dan dia membantuku berdiri.
Awalnya itu, dan berlanjut kemudian. Kendati perkenalan kami diwarnai komentar-komentarnya yang tidak sensitif bagi suasana hatiku yang merasa malang dan payah, nyatanya hari itu, dialah pelindungku. Dengan perasaan dipermalukan total kudatangi teman-teman kelompokku dan mengultimatum, “Nggak ada perdamaian sebelum Kenzo De Lumiere di tangan!” Lantas, aku menghampiri malaikat penyelamatku. Setidaknya, hari itu ada seseorang yang sama berantakannya denganku, atau lebih baik lagi jika mengingat dia jadi basah kuyup karena berusaha menolongku.
Apa yang terjadi kemudian terjadi begitu saja. Kami semakin dekat, semakin terus terang. Perasaan kami wajar bagi satu sama lain, tetapi tidak bagi orang lain. Bahkan pada usia itu, kami menyadari implikasi hubungan yang riskan. Kami membatasi interaksi di sekolah, di keramaian, pada siapa saja. Kukatakan aku punya pacar di media sosial, jadi tidak tertarik pada siapapun di lingkungan sekolahku, agar teman-teman kelompokku berhenti mendesak. Kami mendaftar kursus di lembaga yang sama, pada waktu yang sama, memastikan tidak ada teman sekolah yang menghadiri sesi yang sama. Kami bertukar cerita melalui akun palsu, dengan foto editan dan identitas buatan. kami merancang pertemuan di tempat yang kemungkinan tidak diminati teman-teman kami, pantai, taman, alam terbuka yang memungkinkan kami dapat mengamati sekeliling dan segera melepaskan genggaman setiap saat dan menjauh cepat-cepat jika ada indikasi orang yang mengenali kami.
Pada hari-hari dimana orang tuaku harus pergi ke luar kota, aku meminta izin untuk mengundangnya menemaniku di rumah. Seringnya hanya sehari dan semalam, tetapi itu hari dan malam yang patut dikenang. Bahkan pada masa remaja kami yang belum berpengalaman, kami telah mencoba saling mengenal setiap jengkal dan lekukan, mengenali gerak dan isyarat sebagai sebuah wujud nyata keinginan dan permintaan.
“Why do you want me, want us, like this?” Suatu hari aku bertanya, kupergunakan bahasa Inggris karena terlalu malu-malu untuk bertanya langsung dengan bahasa Indonesia diantara sesi serius kami bersama.
"Because I love you, love that liberates if you also want other options." Jawabnya lancar, tanpa keraguan, hanya ada sedikit nada melankolis di sana.
"I don't want anyone, to be honest." Bisikku tersekat.
"Then there's no need to ask, right?” suara kalemnya kembali ke nada menyebalkan. Kutarik segenggam rambutnya sampai dia berhasil menangkap dan memegangi tanganku erat-erat.
Bukannya tannpa terasa, hanya kupikir jangka waktu tak lagi dapat menentukan kebersamaan kami. Teman-temanku senang membandingkan berapa lama waktu berpacaran mereka,seakan itu menentukan. Aku tidak pernah memikirkannya, sebab aku tidak pernah terpikir ada kemungkinan siapa lagi setelah dia? Namun waktu bukan milik kami, pun kepastian itu sendiri. Aku melihatnya, tetapi juga bersikeras tidak menyadarinya, perubahan itu. Waktu yang semakin langka, alasan kesibukan mendaftar pada universitas, rahasia dan rahasia, seakan mendorongku menjauh.
Aku ingat malam itu, kami telah libur berbulan-bulan, tetapi hanya terhitung jari hari yang kami habiskan bersama. Tapi malam itu dia datang, kukira segalanya akan kembali normal. Aku menolak melihat ketegangan dalam ekspresinya, jarak dalam sentuhannya, nada dingin dalam suaranya.
“Ada apa, sih? Kamu jadi aneh belakangan ini.” Tanyaku setenang mungkin, berharap suaraku tidak mengarah pada lengkingan histeris yang biasa.
Dia menatapku, menimbang-nimbang. “Aku…aku…diterima di Universitas di luar kota. Aku akan berangkat beberapa hari lagi.”
Mestinya kukatakan “Ya, selamat!” bukan? Atau mengatakan jika memang harus dengan bumbu protes dan sindiran, “Wah, cepat sekali, mau lari dari siapa, sih?” Tetapi, aku tidak bisa. aku merasakan suatu titik final yang menakutkan sedang mendekat.
“Why?” aku hanya bisa membisikkannya.
“I am sorry,” bisiknya, suara kalemnya berubah serak. “Aku harus menjauhkan diri, memperbaiki diri, apa yang kita lakukan tidak bisa dibenarkan.”
“Baru sekarang sadar, my religious sister?” tanyaku tak percaya sekaligus marah. “Kurasa kita sudah tahu sejak awal mengenai hubungan kita yang tidak dapat dibenarkan. Aku perempuan, dan kamu juga. Kita sudah tahu, lantas kenapa baru sekarang kamu membuangku?”
“Aku tidak bisa,” katanya, susah payah mencari penjelasan. “Baru sekarang aku memiliki kesempatan untuk menjauh.”
Begitu saja, aku paham. Tidak ada perlunya mempertanyakan cinta seseorang, jika baginya mencintaimu sama dengan sebuah kesalahan. Tidak ada akhir bahagia untuk itu. Namun pemahaman hanya untuk pikiran yang logis, bukan untuk perasaan. Hati tetap akan menginginkan apa yang diinginkan perasaan seseorang yang paling jujur, seberapa pun menyakitkannya itu.
Aku teringat pada awal perkenalan kami, bagaimana dia menyelamatkanku dari kejatuhan dari ketinggian tiga meter ke dalam air. Hari itu dan hari-hari bahkan ratusan hari kemudian, dia menjadi malaikat penyelamatku. Aku bahagia bersamanya, dan tidak pernah mempertanyakan harga kebahagiaanku, tidak pernah menyadari apa-apa. Dia membuatku menjadi diriku yang lebih baik, lebih termotivasi, lebih mandiri, lebih mencintai diri sendiri. Apa yang kulakukan untuknya selain membuatnya merasa bersalah, berdosa, dan segala hal negatif lainnya karena berani memilih bersamaku?
Sebelum keberangkatannya, dia mengirimiku sebuah pesan.
From : Adriana
To : Jazlyn
Cinta bukan perkara memiliki, mengikat janji, atau pun membenarkan segala perbuatan.
Aku berharap kamu mengerti meski mungkin bukan saat ini, aku ingin cinta kita saling membebaskan untuk menemukan jalan yang tepat bagi kita berdua.
Kita mengenal cinta pertama dari satu sama lain, tapi bukan berarti kita tidak memiliki kesempatan mengenal cinta yang lain, cinta yang semestinya.
Jazlyn, bisakah kamu mengatakan dengan tulus, “Cintamu, kebebasanku.”
Aku harap kamu bisa.
Aku yakin dia sungguh-sungguh berharap demikian, aku sadar bahwa baginya, keputusannya baik dan benar untuk kami berdua. Aku ingin meyakini itu, kalau saja itu dapat menghentikan tikaman demi tikaman rasa sakit yang kurasakan sejak kepergiannya. Aku tidak pernah siap untuk ini, tidak pernah membayangkan sebelumnya.
Dulu aku sering di sini, di sebuah jembatan di atas sungai, tempat kami sering menghabiskan waktu bersama. Dulu, angin yang dingin menjadi alasan untuk kami saling merapatkan diri, berbagi kehangatan. Kini, aku sendirian, kedinginan, mencengkeram tepian pagar. Aku bisa menarik diri ke atas, dan melangkah melewati pagar itu. Tapi aku tidak akan, aku tidak tahu akan sampai dimana setelah itu. Di dunia yang lebih mengerikan, tanpa dia, tanpa kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.
Sebab jika itu yang dia inginkan, cintaku juga mampu membebaskannya. Aku berjanji, setelah segala rasa sakit ini berlalu.
Jakarta, 12 Agustus 2020
Komentar
Posting Komentar